TV Series Review: The Queen's Gambit - Part 4 (Felina)

“Choices have consequences. You will need to learn to make different choices.”

Menyaksikan orangtuanya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil membuat seorang anak perempuan harus menjalani kehidupan di sebuah panti asuhan. Tapi tanpa ia sadari di sana perempuan tersebut bertemu dengan hal yang mampu membuatnya merasa sangat “bahagia”, yakni permainan catur. Seperti sebuah vitamin warna hijau favoritnya, perempuan tersebut sangat candu terhadap permainan catur, sesuatu yang sangat wajar karena ia memang dapat mengalahkan 12 pemain catur sekaligus dalam waktu hanya 80 menit. Mimpi wanita muda tersebut adalah untuk menjadi seorang Grandmaster. 

Sinopsis:

Beth Harmon (Isla Johnston) jelas tidak seberuntung anak-anak lain seusianya, ia harus melihat secara langsung orangtua tewas di dalam sebuah kecelakaan mobil. Hal tersebut memaksa Beth untuk tinggal di sebuah panti asuhan yang dipimpin oleh Helen Deardorff (Christiane Seidel). Di sana semua anak perempuan hidup di dalam aturan yang telah ditetapkan, termasuk ketika mereka harus meminum obat vitamin berwarna merah dan hijau. Namun suatu ketika Beth secara tidak sengaja bertemu dengan Mr. Shaibe (Bill Camp), pria teknisi panti asuhan yang sedang bermain catur sendirian.

Beth menawarkan diri untuk bermain dengan Shaibe dan berhasil membuat pria tersebut terkejut dengan kemampuan yang ia punya. Sayangnya Beth tidak memiliki akses untuk menunjukkan bahwa dirinya merupakan seorang chess prodigy, hingga beberapa tahun kemudian kesempatan itu tiba saat Beth (Anya Taylor-Joy) diadopsi oleh Alma Wheatley (Marielle Heller) dan suaminya. Beth mulai mencari cara agar ia dapat ikut di dalam kompetisi dan memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah turnamen catur walaupun ia tidak memiliki pengalaman. Tujuan Beth hanya satu, ia ingin menjadi seorang Grandmaster.

The Queen's Gambit

Genre: Drama

Director: Scott Frank

Writer: Scott Frank

Broadcast Network: Netflix

 

Cast:

Anya Taylor-Joy as Beth Harmon

Isla Johnston as young Beth

Bill Camp as Mr. Shaibel

Moses Ingram as Jolene

Christiane Seidel as Helen Deardorff

Rebecca Root as Miss Lonsdale

Chloe Pirrie as Alice Harmon

Akemnji Ndifornyen as Mr. Fergusson

Marielle Heller as Mrs. Alma Wheatley

Harry Melling as Harry Beltik

Patrick Kennedy as Allston Wheatley

Jacob Fortune-Lloyd as Townes

Thomas Brodie-Sangster as Benny Watts

Marcin Dorociński as Vasily Borgov

 

[Spoiler Alert]

The Queen's Gambit

Episode 7

Setelah selesai menonton episode terakhir ini saya menjadi mengerti mengapa kisah perjuangan wanita muda bernama Beth Harmon itu begitu dicintai banyak penonton, bahkan kabarnya berhasil membuat animo warga terhadap catur di mana penjualan papan catur meningkat di e-commerce USA. Tidak hanya pada pesona kuat dari Beth Harmon yang sejak awal telah mencuri hati penonton saja, namun juga kepiawaian Sutradara dan Screenwriter Scott Frank dalam meramu tiap bagian cerita yang dia adaptasi dari novel berjudul sama karya Walter Tevis. Pola yang digunakan adalah proses seorang anak perempuan tumbuh besar menjadi juara dunia, lalu masukkan berbagai rintangan yang membuatnya jatuh untuk kembali meloncat lebih tinggi.

‘The Queen's Gambit’ ini punya teknik dramatisasi yang terasa menyenangkan untuk ukuran sebuah miniseries, contohnya seperti di awal ketika Beth masuk secara tidak sengaja ke dalam permainan catur dan menggunakan papan berisikan 64 buah kotak kecil itu sebagai sarana untuk memenuhi “hasrat” yang dimiliki pikirannya. Terlibat pula candu pada obat-obatan yang digunakan sebagai jalan untuk membuat heroine kita itu terjebak di dalam masalah. Dari sana ia kemudian belajar agar dapat lepas dari hal-hal yang membawanya ke dalam mimpi buruk tersebut dalam tahapan yang dikemas simple namun tajam oleh Scott Frank. Eksposisinya tidak berjalan terlalu jauh untuk hal terakhir tadi, namun hasil akhirnya terasa padat dan kuat.

Scott Frank sepertinya fokus pada irama yang telah ia tetapkan sejak awal, tidak mau untuk memasukkan penggambaran yang tidak memberikan pengaruh atau dampak kuat bagi momen puncak. Memasuki episode terakhir sangat jelas bahwa goals yang ingin dicapai oleh chess prodigy kita itu adalah untuk menjadi juara dunia dengan mengalahkan Vasily Borgov di babak final. Settingnya sendiri oke, USSR sebagai tuan rumah jelas menaikkan gengsi, Scott Frank dorong itu dengan membentuk secara rapi pula unsur politik yang terselip di dalamnya, menciptakan dramatisasi yang oke terkait hubungan antara USA dan Soviet Russia yang dingin. Hasilnya ada gesekan yang konstan dan berkembang semakin besar ketika babak final itu tiba, termasuk ketika pada tiap langkah yang diambil oleh kedua pemain kita melihat penonton menunggu dengan penuh rasa tegang.

Tapi di samping pertandingan di Moskow tersebut saya suka dengan cara Scott Frank untuk memupuk emosi di dalam perjuangan Beth Harmon sebelum terbang ke USSR. Kematian Mister Shaibel mungkin tampak “kecil” tapi ada emosi yang cantik di sana, sosok janitor itu yang menjadi pintu masuk bagi Beth Harmon bertemu kesuksesan di hidupnya. Scott Frank lagi-lagi tidak menggunakan dramatisasi yang berlebihan, ia hanya gunakan berita tentang Beth yang dikumpulkan oleh Mr. Shaibel dan tertempel di dinding untuk kemudian diakhiri dengan pecahnya tangis Beth Harmon di samping Jolene. Nama terakhir tadi fungsinya juga menarik, seperti malaikat pelindung bagi Beth Harmon menggantikan Alma Wheatley, menjadi anggota tim selain Benny Watts, Harry Beltik, dan Townes yang membantu Beth secara moril dan strategi.

Cukup seperti itu saja, tanpa eksploitasi yang berlebihan, karena setelah itu Scott Frank langsung bawa penonton menuju panggung utama yang telah dinantikan sejak awal. Yang saya suka adalah sosok Beth yang kita lihat di sini merupakan Beth yang telah belajar akan kesalahannya selama ini, ia mencoba berjuang untuk “waras” dan tidak lagi kehilangan kontrol terhadap pikiran dan emosinya. Beth sangat tenang di episode ini, setelah tangisan itu dari cara ia menolak menjadi boneka untuk hal yang tidak ia suka, ketika ia duduk tenang di dalam pesawat, hingga saat dia bertanding dengan salah satu idolanya saat kecil, semua ia hadapi dengan tenang. Scott Frank selipkan rasa gugup di sana dan dikemas dengan sangat subtle oleh Anya Taylor-Joy sebagai heroine utama.

Dan, boom! Kita akhirnya tiba di momen yang telah dinantikan sejak awal, sebuah akhiran yang manis tidak hanya pada sikap yang ditunjukkan oleh Vasily Borgov saat mengakui kekalahannya saja, namun juga ekspresi dari Elizabeth Harmon yang memancarkan pesona pemenang yang elegan namun tetap eksentrik. Ada rasa puas menyaksikan Beth akhirnya berhasil meraih impiannya setelah melewati berbagai rintangan, melihat ia belajar dan kemudian membuat keputusan yang tepat dengan konsekuensi yang tentu saja positif. Ekspresi kaget seolah tidak percaya itu sudah lebih dari cukup untuk membungkus petualangan ini, dan keputusannya untuk ikut bermain catur bersama warga USSR sendiri seolah mengingatkan kita pada sikapnya yang eksentrik dan berani itu. She loves to win.

Catur sendiri bukan sebuah permainan adu strategi favorit saya tapi setelah selesai menyaksikan ‘The Queen's Gambit’ ini saya bergabung dengan banyak penonton lain yang kembali atau bahkan mulai tertarik dengan permainan ini. Scott Frank jelas berhasil mengangkat kembali pesona catur di mata banyak orang, dahulu saya selalu fokus untuk segera mengincar Raja namun kini saya tahu ternyata ada berbagai macam strategi di dalam permainan ini yang dapat digunakan untuk menyusun satu demi satu langkah dalam strategi yang diterapkan. Di ‘The Queen's Gambit’ semua dibentuk seolah ada taruhan besar di sana, karena setiap pilihan langkah memiliki konsekuensinya sendiri, sama seperti kehidupan seorang Beth Harmon, start with Queen's Gambit and end up with such a lovely checkmate. Good for you, cracker. Good for you.